A. Dasar dan Tujuan Filsafat Pendidikan
Dasar-dasar filsafah ilmu
pendidikan terkait dalam arti dasar ontologis, dasar epistemologis, dan
aksiologis, dan dasar antropolgis ilmu pendidikan.
1. Dasar ontologis ilmu pendidikan
Agar pendidikan dalam
praktek terbebas dari keragu-raguan, maka objek formal ilmu pendidikan dibatasi
pada manusia seutuhnya di dalam fenomena atau situasi pendidikan. Didalam
situiasi sosial manusia itu sering berperilaku tidak utuh, hanya menjadi
makhluk berperilaku individual dan/atau makhluk sosial yang berperilaku
kolektif. Hal itu boleh-boleh saja dan dapat diterima terbatas pada ruang
lingkup pendidikan makro yang berskala besar mengingat adanya konteks
sosio-budaya yang terstruktur oleh sistem nilai tertentu. Akan tetapipada latar
mikro, sistem nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan antar pribadi yang
menjadi syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi terlaksananya mendidik dan
mengajar, yaitu kegiatan pendidikan yang berskala mikro. Hal itu terjadi
mengingat pihak pendidik yang berkepribadiaan sendiri secara utuh memperlakukan
peserta didiknya secara terhormat sebagai pribai pula, terlpas dari factor
umum, jenis kelamin ataupun pembawaanya. Jika pendidik tidak bersikap afektif
utuh demikian makaa menurut Gordon (1975: Ch. I) akan terjadi mata rantai yang
hilang (the missing link) atas factor hubungan serta didik-pendidik atau antara
siswa-guru. Dengan begitu pendidikan hanya akan terjadi secar kuantitatif
sekalipun bersifat optimal, misalnya hasil THB summatif, NEM atau pemerataan
pendidikan yang kurang mengajarkan demokrasi jadi kurang berdemokrasi.
Sedangkan kualitas manusianya belum tentu utuh.
2. Dasar epistemologis ilmu pendidikan
Dasar epistemologis
diperlukan oleh pendidikan atau pakar ilmu pendidikan demi mengembangkan
ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab. Sekalaipun pengumpulan data di
lapangan sebagaian dapat dilakukan oleh tenaga pemula namuntelaah atas objek formil
ilmu pendidikan memerlukaan pendekatan fenomenologis yang akan menjalin stui
empirik dengan studi kualitatif-fenomenologis. Pendekaatan fenomenologis itu
bersifat kualitaatif, artinya melibatkan pribadi dan diri peneliti sabagai
instrumen pengumpul data secara pasca positivisme. Karena itu penelaaah dan
pengumpulan data diarahkan oleh pendidik atau ilmuwan sebagaai pakar yang jujur
dan menyatu dengan objeknya. Karena penelitian tertuju tidak hnya pemahaman dan
pengertian (verstehen, Bodgan & Biklen, 1982) melainkan unuk mencapai
kearifan (kebijaksanaan atau wisdom) tentang fenomen pendidikan maka vaaliditas
internal harus dijaga betul dalm berbagai bentuk penlitian dan penyelidikan
seperti penelitian koasi eksperimental, penelitian tindakan, penelitian etnografis
dan penelitian ex post facto. Inti dasar epistemologis ini adalah agar dapat
ditentukan bahaawa dalam menjelaskaan objek formaalnya, telaah ilmu pendidikan
tidaak hanya mengembangkan ilmu terapan melainkan menuju kepada telaah teori
dan ilmu pendidikan sebgaai ilmu otonom yang mempunyi objek formil sendiri atau
problematika sendiri sekalipun tidak dapat hnya menggunkaan pendekatan
kuantitatif atau pun eksperimental (Campbell & Stanley, 1963). Dengan
demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara korespondensi,
secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau pragmatis (Randall
&Buchler,1942).
3. Dasar aksiologis ilmu pendidikan
Kemanfaatan teori
pendidikan tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi juga diperlukan
untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses
pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu nilai ilmu pendidikan tidak
hanya bersifat intrinsic sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga
nilai ekstrinsik dan ilmu untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak
dalam praktek mmelalui kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan
pengaruh yang positif dalam pendidikan. Dengan demikian ilmu pendidikan tidak
bebas nilai mengingat hanya terdapat batas yang sangat tipis antar pekerjaan
ilmu pendidikan dan tugas pendidik sebagi pedagok. Dalam hal ini relevan sekali
untuk memperhatikan pendidikan sebagai bidang yang sarat nilai seperti
dijelaskan oleh Phenix (1966). Itu sebabnya pendidikan memerlukan teknologi
pula tetapi pendidikan bukanlah bagian dari iptek. Namun harus diakui bahwa
ilmu pendidikan belum jauh pertumbuhannya dibandingkan dengan kebanyakan ilmu
sosial dan ilmu prilaku. Lebih-lebih di Indonesia.Implikasinya ialah bahwa
ilmupendidikan lebih dekat kepada ilmu prilaku kepada ilmu-ilmu sosial, dan
harus menolak pendirian lain bahwa di dalam kesatuan ilmu-ilmu terdapat
unifikasi satu-sayunyaa metode ilmiah (Kalr Perason,1990).
4. Dasar antropologis ilmu pendidikan
Pendidikan yang
intinya mendidik dan mengajar ialah pertemuan antara pendidik sebagai subjek
dan peserta didik sebagai subjek pula dimana terjadi pemberian bantuan kepada
pihak yang belakangan dalaam upaayanya belajr mencapai kemandirian dalam
batas-batas yang diberikan oleh dunia disekitarnya. Atas dasar pandangan
filsafah yang bersifat dialogis ini maka 3 dasar antropologis berlaku universal
tidak hanya (1) sosialitas dan (2) individualitas, melainkan juga (3)
moralitas. Kiranya khusus untuk Indonesia apabila dunia pendidikan nasional
didasarkan atas kebudayaan nasional yang menjadi konteks dari sistem pengajaran
nasional disekolah, tentu akan diperlukan juga dasar antropologis pelengkap
yaitu (4) religiusitas, yaaitu pendidik dalam situasi pendidikan
sekurangkurangnya secara mikro berhamba kepada kepentingan terdidik sebagai
bagian dari pengabdian lebih besar kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Tujuan mempelajari
filsafat pendidikan adalah :
- Dengan filsafat kita lebih menjadi manusia lebih mendidik dan membangun diri kearah yang lebih baik
- Berusaha mempertahankan sikap yang objektif mengenai intisari dan sifat-sifat barang itu sendiri,bukan hanya atas perasaan dan pertimbangan-pertimbagan simpati atau anti pati saja
- Mengajar dan melatih kita memandang dengan luas dan menyembuhkan kita dari kepicikan
- Menjadi orang yang dapat berfikir sendiri
- Memberikan dasar-dasar pengetahuan, memberikan pandangna yang sintesis pula sehingga seluruh pengetahuan merupakan satu kesatuan
- Hidup seseorang tersebut dipimpin oleh pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang tersebut. Sebab itu mengetahuai pengetahuan-pengetahuan terdasar berarti mengetahui dasar-dasar hidup diri sendiri
- Bagi seorang pendidik filsafat mempunyai kepentingan istimewa karena filsafatlah yang memberikan dasar-dasar dari ilmu-ilmu pengetahuan lainnya yang mengenai manusia seperti misalnya ilmu mendidik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar