Mengenal Suku Baduy
"Lojor henteu beunang dipotong, pendek henteu beunang disambung"
(panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung).
(panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung).
Filosofi
itulah hingga kini tetap aktual bagi komunitas Baduy dipedalaman Lebak yang
merayakan tradisi upacara Seba sebagai wujud ungkapan syukur kepada Bapak Bapak
Gede (Bupati atau kepala pemerintahan daerah).
Perayaan
adat Seba, menurut warga Baduy, merupakan peninggalan leluhur tetua (Kokolot)
yang harus dilaksanakan sekali dalam setiap tahun. Acara itu digelar setelah
musim panen ladang huma, bahkan tradisi sudah berlangsung ratusan tahun sejak
zaman Kesultanan Banten di Kabupaten Serang. Namun, dalam upacara Seba kali
ini, di Pendopo Pemkab Lebak berbeda dengan tahun-tahun lalu. Seba tahun ini
jumlah pendatang warga Baduy Luar dan Baduy Dalam terbesar hingga tercatat
sebanyak 1.031 orang atau 10 persen dari penduduk 10.074 jiwa.
Seba itu
sediri merupakan menyerahan hasil tani atau hasil bumi pada pemerintah setempat
yang biasa kita sebut dengan upeti pada kerajaan, itu semua merupakan rasa
syukur masyarakat baduy luar dan baduy dalam karena mendapatkan hasil panen
yang melimpah ruah, kegiatan seba ini tanpa ada paksaan dari manapun masyarakat
baduy luar yang dipimpin oleh Jaro maupun baduy dalam yang dipimpin oleh Puun, bersama-sama
berbondong-bondong membawa hasil tani tersebut pada pemerintahan yang saat itu
diserahkan pada Bupati Lebak secara langsung di pendopo Kabupaten Lebak.
Kawasan
Baduy yang menghuni lahan seluas 5.108 hektare itu, dan seluas 3.000 hektare di
hutan lindung dalam acara Seba tersebut meminta perlindungan kepada Bupati dan
aparat pemerintah daerah sehingga masyarakat Baduy merasa aman dan damai.
Kejadian pemerkosaan dan penyerobotan tanah ulayat yang menimpa warga Baduy
tahun lalu, jangan sampai terulang kembali. Demikian permintaan warga Baduy
dalam acara Seba tersebut. Panggilan kewajiban Seba begitu sakral, karena
prosesi itu titipan dari Lembaga Adat Baduy dari leluhur hingga dijalankan para
generasi penerusnya. Malam itu, ribuan warga Baduy memadati pelataran Pendopo
tampak hening dan khusyu tak ada satu pun orang-orang yang bercanda atau
mengganggu acara tersebut.
Baduy Dalam,
berseragam serba putih-putih hingga kini masih mempertahankan adat mereka.
Orang baduy dalam pergi kemana-mana selalu ditempuh berjalan kaki. Mereka tidak
diperbolehkan menggunakan kendaraan, termasuk mengikuti upacara Seba dengan
berjakan kaki sepanjang 50 Km. Bagi Baduy Luar yang berseragam hitam-hitam
kehidupannya lebih modern, dan mereka kemana-kemana menggunakan kendaraan
bahkan di zaman sekarang ini juga banyak warga Baduy Luar memiliki telepon
seluler (ponsel).
Ayah Mursid
(35), seorang kepala Lembaga Adat Baduy Dalam (Tangtu Jaro 3), memiliki
kekuasaan Cibeo, Cikeusik, Cikawartana, sejak usia 12 tahun sudah mengikuti
acara Seba, sehingga dirinya cukup dikenal di kalangan pejabat pemerintah
maupun masyarakat Lebak. Ia bersama Naldi (20), warga Cikeusik, melakukan
perjalanan menuju Pemkab Lebak yang cukup melelahkan sekitar 12 jam, dan mereka
berjalan kaki hingga sepanjang 12 kilometer menembus perbukitan Gunung Kendeng
di kawasan Baduy.
Selama
menempuh ke pusat pemerintahan, ia juga beberapa kali melepaskan rasa lelah
dengan beristirahat di sepanjang jalan. "Kami mulai pergi dari Kampung
Cibeo sekitar pukul 5.00 pagi. Orang-orang masih tidur lelap. Namun, perjalanan
lancar hingga sampai di sini pukul 17.00 sore," katanya.
Prosesi
upacara Seba suatu kewajiban yang harus dilaksanakan dan menjadikan ketetapan
Lembaga Adat Masyarakat Baduy yang diterapkan dalam kehidupan bernegara dan
berbangsa. "Seba itu titipan adat yang harus dijalankan karena jika tidak
dilaksanakan khawatir kami kualat," katanya. Namun demikian, kendati
melelahkan Seba itu, ia merasa senang selain bisa bertemu langsung bersama Bupati
dan aparat Muspida setempat.
Saidi
sebagai Jaro tanggungan 7 yang membawahi Lembaga Masyarakat Baduy Luar
sekaligus memimpin acara Seba itu meminta perlindungan kepada Bupati sebagai
kepala daerah dan Kepolisian setempat, agar ditegakan hukum bagi pelaku kerusakan
hutan maupun pemilik ternak yang masuk ke wilayah kawasan Baduy. "Di
perbatasan masih ada ternak warga luar yang masuk ke kawasan Baduy hingga
merusak tanaman, padahal kami sudah beberapa kali melaporkan ke aparat polisi,
namun hingga kini belum juga ditindak," katanya. Ia mengatakan, pihaknya
berharap dalam kehidupan itu dilindungi oleh pemerintah daerah sehingga warga
Baduy merasa tenang dalam menjalankan aktivitas pertanian.
"Sebagai
rasa syukur, kami tak seberapa memberikan hasil pertanian, tetapi kedatangan ke
sini hanya menjalin hubungan erat bersama pemerintah daerah," demikian
Saidi, saat memberikan sambutannya di hadapan Bupati serta Musyawarah Pimpinan
Daerah (Muspida).
Gunung tak diperkenankan dilebur
Lembah tak diperkenankan dirusak
Larangan tak boleh di rubah
Panjang tak boleh dipotong
Pendek tak boleh disambung
yang bukan harus ditolak yang jangan harus
dilarang
yang benar haruslah dibenarkan
Masyarakat Baduy sejak dahulu memang selalu berpegang teguh kepada seluruh ketentuan maupun aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Pu’un (Kepala Adat). Kepatuhan kepada ketentuan-ketentuan tersebut menjadi pegangan mutlak untuk menjalani kehidupan bersama. Selain itu, didorong oleh keyakinan yang kuat, hampir keseluruhan masyarakat Baduy Luar maupun Baduy Dalam tidak pernah ada yang menentang atau menolak aturan yang diterapkan sang Pu’un. Setelah kami terjun langsung melakukan observasi, terbukti bahwa dengan menjalani kehidupan sesuai adat dan aturan yang ditetapkan oleh Kepala Adat di sana, tercipta sebuah komunitas dengan tatanan masyarakat yang amat damai dan sejahtera. ”Di masyarakat Baduy, tidak ada orang kaya, namun tidak ada orang miskin.” Demikian pernyataan Bapak Dainah, Kepala Desa Kanekes yang membawahi seluruh wilayah tempat pemukiman Suku Baduy, di Kabupaten Lebak, Banten. Kehidupan mereka, hakekatnya, sama seperti layaknya kehidupan masyarakat lainnya. Hanya saja yang membedakannya adalah begitu banyak aturan tradisional yang terkesan kolot yang harus mereka patuhi. Berikut sekelumit goresan perjalanan tentang beberapa aturan adat Orang Baduy.
Bulan
Puasa/Kawalu
Desa
Ciboleger, pintu masuk wilayah Baduy Luar. Ketika pagi datang, kami beranjak
berangkat berjalan kaki ke pemukiman Suku Baduy. Kami bertemu salah satu Wakil
Jaro (wakil kepala kampung) dari Baduy Dalam, bernama Mursyid. Dari obrolan
dengan beliau pagi itu, kami mendapatkan banyak informasi yang dibutuhkan.
Ternyata kedatangan kami pada saat itu tergolong sial, karena masyarakat Baduy
Dalam sedang melaksanakan puasa yang dinamakan Kawalu. Di saat Kawalu ini,
orang dari luar komunitas Baduy Dalam dilarang keras memasuki wilayah mereka.
Kami tentu saja sempat terkejut dengan keterangan itu, terutama karena saat
kunjungan bukan bulan puasa (Ramadhan) seperti yang dilakukan oleh umat Islam.
Juga, kedatangan kami di hari Sabtu, bukan Senin atau Kamis yang disunah-kan
bagi umat Islam untuk melakukan puasa. Namun, itulah yang menjadi awal
ketertarikan kami untuk mengulas budaya serta adat-istiadat masyarakat Baduy.
Inilah salah satu ketentuan adat Baduy Dalam, mereka harus menjalani puasa yang
mereka disebut “Kawalu” dan jatuh bulannya adalah di Bulan yang diwajibkan
puasa. Di saat Kawalu, ada banyak kegiatan adat dan tidak ada kegiatan lain.
Semua kegiatan yang dilakukan difokuskan kepada prosesi Kawalu. Pada bulan ini
mereka tidak diperbolehkan membetulkan rumah atau selamatan-selamatan melainkan
mempersiapkan penyambutan datangnya hari besar bagi masyarakat Baduy yang
disebut Seba, berakhirnya masa Kawalu. Satu-satunya kegiatan utama sebagai
pesiapan yang mereka lakukan adalah mengumpulkan hasil panen padi dari
ladang-ladang mereka dan menumbuknya menjadi beras. Dalam satu tahun masyarakat
Baduy melaksanakan puasa selama 3 bulan berturut-turut sesuai dengan amanah
adat-nya.
Pernikahan
Di dalam proses pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat Baduy hampir serupa dengan masyarakat lainnya. Namun, pasangan yang akan menikah selalu dijodohkan dan tidak ada yang namanya pacaran. Orang tua laki-laki akan bersilaturahmi kepada orang tua perempuan dan memperkenalkan kedua anak mereka masing-masing.
Setelah
mendapatkan kesepakatan, kemudian dilanjutkan dengan proses 3 kali pelamaran. Tahap
Pertama, orang tua laki-laki harus melapor ke Jaro (Kepala Kampung) dengan
membawa daun sirih, buah pinang dan gambir secukupnya. Tahap kedua,
selain membawa sirih, pinang, dan gambir, pelamaran kali ini dilengkapi dengan
cincin yang terbuat dari baja putih sebagai mas kawinnya. Tahap ketiga,
mempersiapkan alat-alat kebutuhan rumah tangga, baju serta seserahan pernikahan
untuk pihak perempuan. Pelaksanaan akad nikah dan resepsi dilakukan di Balai
Adat yang dipimpin langsung oleh Pu’un untuk mensahkan pernikahan tersebut.
Uniknya, dalam ketentuan adat, Orang Baduy tidak mengenal poligami dan
perceraian. Mereka hanya diperbolehkan untuk menikah kembali jika salah satu
dari mereka telah meninggal.
Hukum di
Tatanan Masyarakat Baduy
Menurut
keterangan Bapak Mursyid, Wakil Jaro Baduy Dalam, beliau mengatakan bahwa di
lingkungan masyarakat Baduy, jarang sekali terjadi pelanggaran ketentuan adat
oleh anggota masyarakatnya. Dan oleh karenanya, jarang sekali ada orang Baduy
yang terkena sanksi hukuman, baik berdasarkan hukum adat maupun hukum positif
(negara). Jika memang ada yang melakukan pelanggaran, pasti akan dikenakan
hukuman. Seperti halnya dalam suatu negara yang ada petugas penegakkan hukum,
Suku Baduy juga mempunyai bidang tersendiri yang bertugas melakukan penghukuman
terhadap warga yang terkena hukuman. Hukuman disesuaikan dengan kategori
pelanggaran, yang terdiri atas pelanggaran berat dan pelanggaran ringan.
Hukuman ringan
biasanya
dalam bentuk pemanggilan sipelanggar aturan oleh Pu’un untuk diberikan
peringatan. Yang termasuk ke dalam jenis pelanggaran ringan antara lain cekcok
atau beradu-mulut antara dua atau lebih warga Baduy.
Hukuman Berat
diperuntukkan
bagi mereka yang melakukan pelanggaran berat. Pelaku pelanggaran yang
mendapatkan hukuman ini dipanggil oleh Jaro setempat dan diberi peringatan.
Selain mendapat peringatan berat, siterhukum juga akan dimasukan ke dalam
lembaga pemasyarakatan (LP) atau rumah tahanan adat selama 40 hari. Selain itu,
jika hampir bebas akan ditanya kembali apakah dirinya masih mau berada di Baduy
Dalam atau akan keluar dan menjadi warga Baduy Luar di hadapan para Pu’un dan
Jaro. Masyarakat Baduy Luar lebih longgar dalam menerapkan aturan adat dan
ketentuan Baduy.
Rutannya
Orang Baduy, atau lebih tepat disebut tahanan adat, sangat jelas berbeda dengan
yang dikenal masyarakat umum di luar Baduy. Rumah Tahanan Adat Baduy bukanlah
jeruji besi yang biasa digunakan untuk mengurung narapidana di kota-kota,
melainkan berupa sebuah rumah Baduy biasa dan ada yang mengurus/menjaganya.
Selama 40 hari sipelaku bukan dikurung atau tidak melakukan kegiatan sama
sekali. Ia tetap melakukan kegiatan dan aktivitas seperti sehari-harinya, hanya
saja tetap dijaga sambil diberi nasehat, pelajaran adat, dan bimbingan.
Uniknya, yang namanya hukuman berat disini adalah jika ada seseorang warga yang
sampai mengeluarkan darah setetes pun sudah dianggap berat. Berzinah dan
berpakaian ala orang kota, sebagaimana kita berpakaian di masyarakat kota, juga
termasuk pelanggaran berat yang harus diberikan hukuman berat. Masyarakat Baduy
tidak pernah berkelahi sama sekali, paling hanya cekcok mulut saja. Setelah
melihat dan melakoni sepenggal perjalanan ini, kami memahami bagaimana patuhnya
masyarakat Baduy terhadap segala peraturan yang telah ditetapkan oleh Pu’un
mereka. Kepatuhan dan ketaatan itu dijalani dengan biasa tanpa penolakkan
apapun. Hasilnya? Kekaguman akan dirasakan oleh semua orang yang berkunjung ke
sana; mereka amat rukun, damai, dan sangat sejahtera untuk ukuran kecukupan kebutuhan
hidup sehari-hari. Itulah yang kami rasakan sebagai kesimpulan dari perjalanan
menyelami salah satu suku tradisional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar