Sabtu, 19 Desember 2015

Fakta Sesungguhnya Tentang Baduy

Baduy merupakan suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Sebutan “Baduy” merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, kemungkinan lain juga karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Sedangkan mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau “orang Kanekes” sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo.
Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda–Banten. Tetapi untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes ‘dalam’ tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.
Masyarakat Baduy terbagi menjadi dua kelompok, ada kelompok masyarakat Baduy Dalam dan Baduy Luar. Kelompok Baduy Dalam adalah kelompok yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Ciri khas dari orang Baduy Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Kelompok masyarakat Baduy Luar adalah mereka yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Baduy Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam.
Mata pencaharian utama masyarakat Baduy adalah bertani padi huma (ladang). Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan.
Semua sistem yang ada di masyarakat Baduy termasuk sistem perkawinan berlandaskan “Pikukuh”, sebuah aturan yang sudah ada sejak leluhur masyarakat Baduy. “Pikukuh” adalah aturan dan ajaran yang harus dijalankan oleh masyarakat Baduy. aturan tersebut mengatur mengenai apa saja yang diperbolehkan dan apa saja yang dilarang. Peraturan ini juga mengatur tentang penyelenggaraan perkawinan.
Dalam sistem perkawinan masyarakat Baduy tidak ada tradisi berhubungan sebelum menikah (pacaran). Pasangan akan langsung dijodohkan. Orang tua laki-laki akan bersilaturahmi kepada orang tua perempuan dan memperkenalkan kedua anak mereka masing-masing.
Setelah ada kesepakatan, dilanjutkan dengan proses 3 kali pelamaran yaitu:
Tahap Pertama, orang tua laki-laki harus melapor ke Jaro (Kepala Kampung) dengan membawa daun sirih, buah pinang dan gambir secukupnya.
Tahap kedua, selain membawa sirih, pinang, dan gambir, pelamaran kali ini dilengkapi dengan cincin yang terbuat dari baja putih sebagai mas kawinnya.
Tahap ketiga, mempersiapkan alat-alat kebutuhan rumah tangga, baju serta seserahan pernikahan untuk pihak perempuan. Uniknya, dalam ketentuan adat, orang Baduy tidak mengenal poligami dan perceraian. Mereka hanya diperbolehkan untuk menikah kembali jika salah satu dari mereka telah meninggal.
Pelaksanaan akad nikah dan resepsi bagi pasangan mempelai dilaksanakan di Balai Adat yang dipimpin oleh Pu’un untuk mensyahkan pernikahan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar